Sabtu, 21 Januari 2017

Menakar Efektifitas Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Satgas Saber Pungli) Sebagai Upaya Mewujudkan Reformasi Birokrasi




Farco Siswiyanto Raharjo
Mahasiswa Program Studi Ilmu Administrasi Negara
Universitas Slamet Riyadi Surakarta
NIM/NPM : 13400009



Berawal dari operasi tangkap tangan yang berlangsung di Kementerian Perhubungan Republik Indonesia (Kemenhub RI) menjadi momentum upaya terbaru dalam pemberantasan pungutan liar di era pemerintahan Presiden Joko Widodo. Seperti diketahui bahwa praktik pungutan liar sudah mendarah daging di Republik Indonesia. Setiap era pemerintahan memiliki cara masing-masing dalam memberantas praktek pungutan liar. Namun masih saja praktik pungli terus terjadi dan bahkan bisa dikatakan semakin berkembang. Praktik pungutan liar ada diberbagai lini. Bukan hanya dilingkungan pemerintah/penegak hukum. Namun juga terjadi di organisasi kemasyarakatan bermodalkan preman-preman berwajah garang dan bertato diseluruh tubuh. Inilah yang menjadikan praktek pungutan liar sulit diberantas. Karena keberadaannya melibatkan berbagai pihak diseluruh lini komponen bangsa.
Salah satu virus penyakit atau patologi korupsi dalam pelaksanaan aktivitas pelayanan public adalah tumbuh suburnya aktivitas percaloan dimana fenomena ini telah memberikan gambaran bahwa hampir  tidak ada unit kerja terutama bagi negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia yang bebas dari percaloan. Praktek percaloan di Indonesia terutama di lembaga-lembaga pemerintah yang melakukan aktivitas pelayanan langsung kepada masyarakat. Jika berbicara tentang percaloan, maka erat kaitannya dengan praktek pungutan liar.
Pungli menjadi semakin masif karena ada sinergi kepentingan pemegang kewenangan publik dengan masyarakat (publik) selaku pihak yang membutuhkan. Praktik pungli yang sudah masif dan sistemik harus kita pandang sebagai situasi chaos yang menimbulkan gangguan pencapaian tujuan-tujuan negara.
Kita ketahui ada beberapa pungutan liar yang ada dinegeri ini. Baik kelas kecil yang dikenal dengan kelas teri hingga kelas besar yang biasa dikenal dengan kelas kakap. Praktek pungutan kelas kecil biasa nya terjadi pada kehidupan sehari-hari masyarakat pada umumnya. Contoh nya adalah ketika membuat Surat Izin Mengemudi (SIM), masyarakat harus menjalani tes/ujian. Untuk mempermudah kelulusan dan mempercepat penerbitan Surat Izin Mengemudi (SIM) biasanya masyarakat dihadapkan pada pilihan untuk lewat Calo. Dengan cara ini maka proses mendapatkan Surat Izin Mengemudi (SIM) akan lebih mudah dan cepat. Selain itu ada praktek pungutan liar lainnya yang melibatkan aparat birokrasi dalam kesehariannya. Hal ini seperti dalam pembuatan KTP (Kartu Tanda Penduduk). Masyarakat lagi-lagi dihadapkan dengan pilihan untuk memberikan uang tambahan kepada birokrat untuk mempercepat dan mempermudah medapatkan KTP. Padahal kegiatan ini tergolong dalam gratifikasi jika mengacu pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dilingkungan penegak hukum seperti pengadilan pun praktek pungutan liar sering terjadi. Hal ini antara lain untuk mempermudah suatu kasus perceraian, tidak heran bahwa terjadi praktek pungutan liar untuk mempercepat putusan pengadilan. Beberapa contoh tersebut hanya sebagian kecil praktek pungutan liar yang terjadi dalam kelas masyarakat umum, biasa dikenal dengan kelas kecil/kelas teri. Kemudian praktek pungutan liar juga terjadi dijalan raya. Beberapa waktu lalu terbongkar kasus pungutan liar dijembatan timbang.
Praktek pungutan liar juga terjadi pada kelas besar/kelas kakap yang melibatkan berbagai institusi negara dan perusahaan besar. Contoh kasus nya adalah pembukaan lahan untuk mempermudah izin pertambangan. Dalam upaya membuka izin tambang, perusahaan harus mengantongi berbagai surat izin dari pemerintah termasuk surat izin pembukaan lahan dan izin usaha. Hal ini dimanfaatkan pemerintah pusat maupun daerah untuk mengeluarkan aturan tentang penerbitan surat izin usaha pertambangan. Tidak heran bahwa terkadang terjadi kesepakatan antara eksekutif dan legislatif membuat aturan yang rumit untuk penerbitan surat izin tersebut. Dengan adanya aturan yang rumit dan terbelit-belit akan mempersulit perusahaan untuk mendapatkan surat izin usaha pertambangan. Maka perusahaan terkadan mengambil jalan pintas dengan melakukan suap pungutan liar kepada intitusi pemberi izin supaya surat izin yang diperlukan dapat diterbitkan.
Selain itu, praktik pungutan liar melibatkan perusahaan penerbangan terkait izin terbang pesawat. Pada tahun 2016 lalu terbongkar kasus suap dan pungutan liar yang melibatkan pihak perusahaan pesawat penerbangan komersil. Maka menteri perhubungan waktu itu, Ignasius Jonan memberikan sanksi dengan mencabut sementara izin terbang beberapa maskapai penerbangan yang terlibat kasus tersebut.
Kemudian praktek pungutan liar juga melibatkan perusahaan biro perjalanan umroh dan haji dengan imigrasi. Terjadi praktik pungutan liar antara imigrasi dan perusahaan biro perjalanan umroh/haji dalam hal penerbitan paspor. Tidak mustahil terjadi bila imigrasi meminta biaya tambahan untuk mempercepat dan mempermudah penerbitan paspor yang diajukan oleh biro perjalanan haji/umroh. Dan hal ini tidak hanya terjadi pada satu daerah saja. Pasti sangat berpotensi terjadi diberbagai daerah di Indonesia.
Praktek pungutan liar dalam jumlah besar lainnya terdapat seperti izin hak pengankutan BBM dalam jumlah besar hingga Hak izin Ekspor/Impor komoditi pangan.
Dari beberapa contoh praktek pungutan liar diatas, maka bisa kita bayangkan berapa kerugian yang dialami negara. Selain kerugian yang bersifat materil, praktek pungutan liar juga memberikan dampak kerugian nonmateriil seperti merusak sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kondisi negara ini memang sudah carut marut akibat suburnya pungli. Pungli tidak lagi mengenal suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA). Pungli sudah menjadi keharusan di sistem ketatanegaraan di RI. Tanpa Pungli jangan harap urusan pelayanan publik, perizinan maupun hukuman denda bisa tertib dilaksanakan. Kerugian negara akibat pungli terus bertambah.
Pungutan liar atau pungli adalah jenis pelanggaran hukum yang masuk kategori korupsi. Meski demikian, praktek pungli jamak terjadi di dalam birokrasi di Indonesia karena lemahnya pengawasan dan supervise dikalangan instansi pemerintahan. Meski sejumlah lembaga pengawasan internal dan eksternal telah di bentuk, budaya pungli dikalangan birokrasi tidak kunjung berkurang apalagi dihilangkan. Pada umumnya, pungutan liar dilakukan petugas pelayanan public kategori kelas rendah. Motifnya adalah untuk menambah penghasilan akibat gaji resmi para birokrat rata-rata masih tergolong rendah. Bila birokrasi tingkat tinggi bisa melakukan korupsi untuk menambah penghasilannya, maka birokrasi tingkat rendah melalui pungutan liar. Adanya kesempatan, lemahnya pengawasan dan rendahnya etika birokrat menjadi faktor pendorong suburnya perilaku korup melalui pungutan liar.
Dalam proses pelayanan publik, posisi masyarakat sangat rentan menjadi korban pungutan liar karena daya tawar yang rendah. Masyarakat dipaksa menyerahkan sejumlah uang tambahan karena ketiadaan lembaga pengawasan yang efektif untuk memaksa birokrat yang kerap melakukan pungutan liar. Masyarakat juga tidak mendapatkan lembaga pengaduan yang bonafid karena rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap citra para birokrat. Selain itu, pengaduan masyarakat kerap kali tidak mendapatkan tanggapan yang memadai dari inspektorat sebagai pengawas internal. Pada sisi lain, masyarakatpun kerap menyumbang kontribusi terhadap tumbuh suburnya praktek pungutan liar dengan cara membiasakan diri member uang tanpa mampu bersikap kritis melakukan penolakan pembayaran diluar biaya resmi. Budaya memberi masyarakat untuk memperlancar urusan dengan birokrat susah untuk dihilangkan karena telah berlangsung selama berabad-abad. Sejak zaman feudal masyarakat terbiasa member upeti kepada raja dan aparat kerajaan.
Melalui kebijakan pembentukan satuan tugas sapu bersih pungutan liar (Satgas Saber Pungli), pemerintah memandang perlu upaya pemberantasan secara tegas, terpadu, efektif, efisien, dan mampu menimbulkan efek jera. Pembentukan satuan tugas ini dipayungi dengan terbitnya peraturan presiden (perpres) nomor 87 tahun 2016 Tentang Satuan Tugas Pungutan Liar (Saber Pungli). Peraturan Presiden ini ditandatangani pada tanggal 20 Oktober 2016.
Dalam peraturan presiden Nomor 87 Tahun 2016 Tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan liar tersebut, kedudukan team satgas saber pungli bertanggung jawab langsung kepada presiden Republik Indonesia. Menurut Perpres ini, Satgas Saber Pungli mempunyai tugas melaksanakan pemberantasan pungutan liar secara efektif dan efisien dengan mengoptimalkan pemanfaatan personil, satuan kerja, dan sarana prasarana, baik yang berada di kementerian/lembaga maupun pemerintah daerah.
Dalam melaksanakan tugasnya, menurut Perpres ini, Satgas Saber Pungli menyelenggarakan fungsi:
a.    Intelijen;
Fungsi ini memiliki tugas melakukan pengintaian atau pengawasan terhadap pelaku yang terlibat praktek pungutan liar. Pengintaian ini melalui prosedur yang telah didasarkan pada prosedur dan ketetapan (protap) intelejen. Hal ini dilakukan supaya laporan yang disampaikan masyarakat benar adanya, terdapat bukti yang kuat supaya dapat diteruskan ketahap penyidikan dan penyelidikan.
b.    Pencegahan;
Fungsi pencegahan yang dimaksud adalah memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang bahaya maupun kerugian pungutan liar. Serta memberikan informasi kepada masyarakat bahwa pungutan liar masuk dalam kategori pelanggaran hukum pidana dan dapat dikenakan sanksi tegas pagi yang melakukan.
c.    Penindakan;
Fungsi penindakan yang dimaksud adalah meneruskan keproses hukum selanjutnya kepada para pelaku praktek pungutan liar/pungli. Pastinya hal ini dapat dilakukan setelah ditemukan bukti yang menguatkan untuk diproses secara hukum.
d.    Yustisi.
Fungsi yustisi ini antara lain memberikan perlindungan terhadap kerahasiaan identitas pelapor yang melaporkan terjadinya praktek pungutan liar/pungli.
Adapun wewenang Satgas Saber Pungli adalah:
1.    Membangun sistem pencegahan dan pemberantasan pungutan liar;
2.    Melakukan pengumpulan data dan informasi dari kementerian/lembaga dan pihak lain yang terkait dengan menggunakan teknologi informasi;
3.    Mengoordinasikan, merencanakan, dan melaksanakan operasi pemberantasan pungutan liar;
4.    Melakukan operasi tangkap tangan;
5.    Memberikan rekomendasi kepada pimpinan kementerian/lembaga, serta kepala pemerintah daerah untuk memberikan sanksi kepada pelaku pungli sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
6.    Memberikan rekomendasi pembentukan dan pelaksanaan tugas lain unit Saber Pungli di setiap instansi penyelenggara pelayaan publik kepada pimpinan kementerian/lembaga dan kepala pemerintah daerah; dan
7.    Melakukan evaluasi pemberantasan pungutan liar.
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2016 Tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Satgas Saber Pungli) ditentukan susunan organisasi nya sebagai berikut :

Pengendali/Penaggung jawab     : Menteri koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan;
Ketua Pelaksana                             : Inspektur Pengawasan Umum Polri;
Wakil Ketua Pelaksana I                : Inspektur Jenderal Kementerian Dalam Negeri;
Wakil Ketua Pelaksana II               : Jaksa Agung Muda bidang Pengawasan;
Sekretaris                                          : Staf Ahli Kemenko bidang Polhukam;
Anggota:
1. Polri;
2. Kejaksaan Agung;
3. Kementerian Dalam Negeri;
4. Kementerian Hukum dan HAM;
5. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK);
6. Ombudsman RI;
7. Badan Intelijen Negara (BIN); dan
8. Polisi Militer TNI
Pepres ini juga menegaskan, bahwa kementerian/lembaga dan pemerintah daerah melaksanakan pemberantasan pungutan liar di lingkungan kerja masing-masing, dan membentuk unit pemberantasan pungutan liar pada satuan pengawas internal atau unit kerja lain di lingkungan kerja masing-masing. Kemudian masyarakat dapat berperan serta dalam pemberantasan pungutan liar, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui media elektronik atau non elektronik, dalam bentuk pemberian informasi, pengaduan, pelaporan, dan/atau bentuk lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Satuan tugas sapu bersih pungutan liar ini diharapkan mampu mengatasi akar masalah pungutan liar yang terjadi pada instansi-instansi pemerintah dalam pelayanan publik. Akar masalah itu seperti lamban dan sulitnya prosedur melayani masyarakat mendapatkan perijinan maupun surat-surat.
Tim ini tidak hanya dilakukan diluar institusi penegakan hukum, tapi juga menyasar kepada lembaga penegak hukum itu sendiri dan juga akan menyasar pungli yang dilakukan oleh calo, preman dan organisasi kemasyarakatan. Selain melakukan tindakan, Tim Saber Pungli juga akan mengkaji apakah ada aturan yang mendukung terjadinya pungli. Tim ini juga akan menyisir regulasi yang dobel, tumpang tindih, regulasi yang tidak efektif dan merugikan masyarakat.
Dari kebijakan satgas pungli ini dapat kita lihat bahwa pemerintah fokus dan berkonsentrasi dalam memberantas pelanggaran hukum yang dilakukan oleh oknum dilingkungan institusi/lembaga pelayanan publik di Indonesia. Salah satu tujuan dari satgas pungli adalah sebagai strategi mewujudkan reformasi birokrasi.
Praktik pungli yang dilakukan di bidang yang terkait dengan pelayanan publik apabila dibiarkan akan menghambat agenda reformasi birokrasi. Apalagi saat ini masyarakat sudah semakin cerdas untuk menginginkan pelayanan yang cepat, tepat dan murah. Dengan kebijakan sapu bersih pungli yang diputuskan oleh pemerintah, saai ini masyarakat dapat melaporkan praktik pungutan liar dengan mudah. Yakni dengan melalui akses website saberpungli.id, sms center ke nomor 1193 dan call center dengan nomor 193.
Akses kemudahan untuk melaporkan praktik pungli tersebut juga merupakan terobosan baru / Inovasi yang diberikan pemerintah kepada masyarakat. Hal ini dapat dipandang sebagai strategi reformasi birokrasi.
Kendati demikian, perlu adanya pengawasan secara intensif terhadap kinerja dari satgas saber pungli. Jangan sampai laporan yang disampaikan oleh masyarakat hanya dibiarkan. Perlu adanya proses tindak lanjut dari laporan yang telah disampaikan kepada masyarakat. Apabila oknum petugas pelayanan terbukti melakukan pungutan liar maka harus diproses sesuai aturan yang berlaku. Hal ini sebagai upaya untuk meminimalisir praktik pungutan liar di Indonesia. Selain itu peran dari akademisi sangat dibutuhkan untuk melakukan riset tentang perkembangan pemberantasan pungli di Indonesia. Seperti yang kita ketahui bahwa dalam paradigma Ilmu Administrasi Negara praktek pungli termasuk dalam kategori patologi birokrasi.
Jika berbicara tentang efektivitas dari satuan tugas sapu bersih pungutan liar (satgas saber pungli) kita bisa lihat dari kerja dari team satgas tersebut berhasil melakukan operasi tangkap tangan (OTT) kepada berbagai oknum yang terlibat praktik pungutan liar. Oknum tersebut bukan hanya dari kalangan pemerintah pusat seperti tertangkapnya Kepala sub direktorat Jendral Pajak (Kasubdit Pajak) Kementerian Keuangan hingga pejabat tingkat pemerintah desa diluar jawa yang ditangkap karena melakukan praktik pungutan liar kepada warga nya. Selain itu team satuan tugas sapu bersih pungutan liar tidak hanya dibentuk dipemerintah pusat. Namun pemerintah daerah diminta keterlibatannya untuk membentuk team satuan tugas sapu bersih pungutan liar hingga tingkat kabupaten/kota. Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Wiranto menyebutkan sampai 18 Desember 2016, ada 17.600 laporan masyarakat terkait pungutan liar yang diterima Satuan tugas Sapu bersih Pungutan liar.
Hal ini mengartikan bahwa masyarakat sadar bahwa pemberantasan praktek pungutan liar tidak hanya dibebankan pada pemerintah saja. Namun masyarakat ikut aktif terlibat dalam penanganan praktek pungutan liar yang terjadi di Indonesia. Selain itu satuan tugas sapu bersih pungutan liar melakukan pencegahan dengan kegiatan kampanye anti pungutan liar yang dilakukan diberbagai wilayah di Indonesia.

Pemberantasan pungli secara keseluruhan tidak bisa dipisahkan dari kerangka otonomi daerah di Indonesia. Hal ini terutama disebabkan beban penyelenggaraan pemerintahan yang sudah berpindah dari pusat ke daerah, sebagai akibat dari pelaksanaan desentralisasi. Dalam hal ini, negara mengelola berbagai dimensi kehidupan, seperti bidang sosial, kesejahteraan masyarakat, ekonomi, keuangan, politik, integrasi sosial, pertahanan, keamanan dalam negeri dan lain-lain.
Pemberian kewenangan (devolution of authority) kepada unit-unit atau satuan pemerintahan yang lebih rendah dan lebih kecil merupakan sesauatu kebutuhan yang mutlak dan tidak dapat dihindari.
Keadaan tersebut menyebabkan pelayanan kepada masyarakat dan organisasi bisnis berpindah dari pusat ke daerah. Hal ini tentu saja menyebabkan potensi pungli yang juga berpindah dari pusat ke daerah. Rumitnya sistem birokrasi dalam pelayanan publik menambah peluang dan dimanfaatkan sejumlah oknum untuk melakukan kegiatan pungutan liar.
Dengan berbagai tantangannya, genderang perang terhadap pungli ini sudah ditabuh presiden, dan tabuhan ini telah diikuti oleh seluruh institusi kenegaraan di Indonesia. Di daerah, pekerjaan rumah menanti dalam upaya perang terhadap pungli tersebut. Kita berharap bahwa pembentukan satgas oleh pemerintah daerah kemudian diikuti upaya-upaya sistematis untuk memberantas pungli sampai ke akar-akarnya.
Identifikasi area urusan pemerintahan yang rentan perlu dilakukan sejak awal. Berkaitan dengan hal tersebut, perhatian khusus perlu ditujukan pada urusan pemerintahan di bidang kepegawaian, pendidikan, perizinan, dana desa, pelayanan publik, hibah dan bantuan sosial, serta pengadaan barang dan jasa. Selain itu, sanksi yang menghasilkan efek jera perlu disusun dan diformulasikan sehingga pungli akhirnya akan menjadi hilang. Banyak lagi tindakan yang bisa diformulasikan sesuai karakteristik daerah, dan ini adalah tugas kita ke depan.
Keseluruhan upaya harus dilakukan karena pungli sudah seperti penyakit kanker yang menggerogoti seluruh dimensi pelayanan publik di daerah. Oleh karena itu, pemberantasannya pasti membutuhkan waktu yang cukup panjang. Dengan demikian, konsistensi perlu dilakukan, upaya-upaya baik kecil maupun besar perlu dilakukan secara sistematis. Paling tidak genderang telah ditabuh, dan kita menjadi bagian dari perang tersebut.
Keterbukaan publik menjadi salah satu strategi yang tepat untuk memberantas pungutan liar (pungli). Namun semua itu bergantung dari niat untuk membumihanguskan pungutan liar.
Hal yang tak kalah penting dari pemberantasan Pungli ini adalah banyak aspek yang harus di perhatikan ke depannya. Meskipun setiap instsansi memiliki pengawas intern sendiri, saya rasa hal tersebut tidak berjalan baik setidaknya sampai saat ini. Beberapa masukan saya terhadap Presiden untuk mengeluarakn perpres terkait pungli ini antara lain sebagai berikut. :
  1. Presiden, kementerian, lembaga terkait, kepala daerah, membuat aturan norma yang jelas dan mengikat bagi pejabat pemerintahan terkait penanggulangan atau penegakan hukum atas tindakan pungli di Indonesia.
  2. Tindakan atas pelaku pungli tidak hanya menyasar pada tindakan pungli dengan jumlah besar, namun juga menyasar pada pungli-pungli kecil di daerah yang sudah berlangsung lama.
  3. Pelaku tindakan pungli harus benar-benar dapat dikenai sangki yang jelas, jika pelaku merupakan pejabat TUN selain hal-hal admisnistrasi dapat dikenakan diharapkan dapat menerakan asas openbarrvarheid asas keterbukaan, pelaku di umumkan namanya melalui web resmi instasi ybs untuk memberikan punismant terhadap pelaku dan membuat Pejabat yang lain tidak melakukan hal yang sama.
  4. Harus mendapatkan jaminan hukum yang pasti bagi masyarakat yang mendapati dan melaporkan kejadian pungli di instansi-instasi pemerintahan, pelaporan-pelaporan atas tindakan pungli tersebut harus benar ditindak oleh pejabat yang berwenang.
  5. Harus ada perlindungan hukum bagi seseorang yang menguak tindakan pungli di suatu instansi pemerintahan dan yang bersangkutan dapat dijadikan peniup peluit atau

Tidak ada komentar:

Posting Komentar